THE POPULAR AND
THE EVERYDAY
January
2024
Konstruksi Identitas Cosplayer pada Komunitas Bekasians
INTRODUCTION
Perkembangan yang pesat dari teknologi media menjadi salah satu faktor yang mempermudah globalisasi masuk ke masyarakat. Dari globalisasi itu, kita pun ter-expose pada macam-macam budaya populer dari berbagai negara.Seperti yang dikatakan oleh Joke Hermes, respons masyarakat terhadap budaya populer sendiri bisa bervariasi (Ida, 2019). Menurutnya, mengkonsumsi budaya populer hanyalah salah satu bentuk pelarian dari rutinitas kita sehari-hari. Sama seperti kesenian umum, orang-orang memilih sendiri genre yang mereka konsumsi dari suatu budaya populer. Selain itu, budaya populer juga sangat berpengaruh dan dapat menciptakan terbentuknya suatu komunitas.Jepang termasuk dalam negara yang paling banyak mengekspor budaya mereka ke dalam masyarakat di seluruh dunia dan banyak digemari oleh orang-orang terutama kaum muda. Di antaranya adalah animasi asal Jepang (Anime), musik Jpop, film, permainan video, makanan, fashion, cosplay , dan masih banyak lagi. Dalam artikel ini, kita akan melihat lebih dalam mengenai salah satu budaya yang telah disebutkan di atas, yaitu Cosplay.
APA ITU COSPLAY?
Istilah ‘Cosplay’ berasal dari penggabungan kata bahasa Inggris “costume” yang artinya kostum dan “play” yang berarti main atau bermain, merupakan salah satu dari subkultur Jepang yang memiliki kepopuleran tinggi di banyak negara termasuk Indonesia. Cosplay itu sendiri pertama muncul di sebuah konvensi science fiksi di New York dengan nama masquerade pada tahun 1936. Lalu, seorang produser Jepang bernama Nobuyuki Takahashi memperkenalkan istilah cosplay pada tahun 1984 yang populer hingga saat ini (An Overview of Cosplay: Exploring the Subculture, 2015).Cosplay sendiri merupakan seni menirukan atau memerankan suatu karakter, baik dari segi penampilan maupun perilaku. Seseorang yang melakukan cosplay ini biasa disebut sebagai cosplayer. Biasanya, kita bisa melihat para Cosplayer melakukan cosplay di event-event jejepangan, dan tak jarang mereka akan memposting hasil dari cosplay mereka ke media sosial mereka.Ada beberapa jenis cosplay yang ditampilkan para cosplayer di festival Jejepangan, yaitu Cosplay manga-anime, cosplay game, cosplay tokusatsu (tokoh berasal dari film superhero Jepang), cosplay gothic, cosplay lolita, cosplay original (tokoh original cosplayer, disebut juga gaya Harajuku), cosplay seragam sekolah, crossdress (kostum yang dipakai adalah kostum yang tidak sesuai dengan jenis kelamin cosplayer), cosplay vocaloid (tokoh penyanyi digital), dan bahkan Indocosu, (tokoh dari komik, kartun, legenda dari Indonesia).
COSPLAY DI INDONESIA
Di Indonesia sendiri, cosplay mulai menjadi populer pada tahun 90-an, dengan munculnya matsuri atau festival Jepang yang menampilkan kebudayaan Jepang. Salah satu festival Jepang pertama yang diadakan di Indonesia adalah Gelar Jepang UI (GJUI) yang pertama kali diselenggarakan pada tahun 1994 oleh Himpunan Mahasiswa Japanologi Universitas Indonesia (HIMAJA UI). Cosplay ini awalnya masuk dan menjadi populer di Jakarta, dan menyebar ke daerah daerah lain di Indonesia.Banyaknya event-event dengan tema jejepangan ini mempersatukan orang-orang yang memiliki ketertarikan terhadap cosplay, sehingga para cosplayer mulai membentuk kelompok-kelompok kecil dan komunitas pecinta cosplay. Salah satu komunitas tersebut adalah komunitas cosplayer ‘Bekasians’. Seperti namanya, Bekasians adalah komunitas cosplayer yang berdomisili di Bekasi.Bekasians adalah suatu komunitas yang menjadi wadah bagi para cosplayer yang menyukai anime, manga dan J-Culture lainnya. Para anggota dari komunitas ini biasanya saling mengenal lewat sosial media mereka. Setelah mereka sering sekali pergi ke event yang sama, mereka akhirnya bersama-sama memutuskan untuk membuat group chat berisi cosplayer-cosplayer yang berasal dari Bekasi.
IDENTITAS KOMUNITAS
COSPLAYER ‘BEKASIANS’
Dalam perspektif cultural study, pembentukan identitas merupakan sebuah proses yang terus berputar dan akan terus dimaknai secara berbeda pada tiap individu (Hall, 1997). Melalui perspektif ini kami mewawancarai para cosplayer dan anggota dari komunitas ‘Bekasians’ ini untuk melihat bagaimana mereka membentuk sebuah identitas komunitas mereka. Seperti yang sudah disebutkan di bagian sebelumnya, cosplay ada beberapa macam. Tidak hanya karakter anime saja yang dijadikan bahan cosplay oleh cosplayer, tapi games juga merupakan salah satu hal yang sangat populer untuk dijadikan cosplay, misalnya Game Genshin Impact yang belakangan ini menjadi pilihan populer para cosplayer dengan banyaknya karakter dalam game itu.Sementara itu, dari hasil wawancara yang kami dapatkan, para cosplayer memiliki motivasi-motivasi yang berbeda dalam melakukan cosplay. Apabila dikategorikan berdasarkan motivasi yang mereka miliki, maka akan ada beberapa kelompok, yaitu: Kelompok yang melakukan cosplay untuk kesenangan sendiri; Kelompok yang melakukan cosplay untuk mencari teman dan pengalaman; Kelompok yang melakukan cosplay untuk meningkatkan kepercayaan diri; dan Kelompok yang melakukan cosplay untuk mendapatkan rekognisi dan menjadikan cosplay sebagai karir.Seorang cosplayer bisa memiliki beberapa motivasi sekaligus dan motivasi tidak bersifat permanen, dan bisa berubah kapan saja. Dari pengelompokkan di atas, kita bisa melihat bahwa cosplay bisa dilakukan oleh siapa saja, mulai dari orang biasa yang hanya ingin bersenang-senang hingga seorang profesional yang serius dalam melakukan cosplay sebagai karir.Dilihat dari motivasi-motivasi yang dimiliki oleh para cosplayer tersebut, adalah hal yang menarik bagaimana sebuah komunitas seperti ‘Bekasians’ bisa mengumpulkan orang-orang dengan motivasi yang berbeda untuk suatu hal yang mereka sukai. Dengan adanya komunitas ini, para anggota menjadi memiliki sesuatu yang menyatukan mereka, dan memberikan sense of belonging, sesuatu yang berharga untuk setiap orang. Berkat itu, mereka merasa memiliki sebuah tempat di mana mereka bisa mengekspresikan diri mereka sendiri.
KEGIATAN KOMUNITAS
COSPLAYER BEKASIANS
Demi menciptakan dan memperkuat sense of belonging antar para anggota tersebut, tentu saja mereka kerap kali melakukan kegiatan bersama untuk memperkuat hubungan. Dari hasil wawancara para partisipan, alat komunikasi utama mereka adalah handphone dengan melalui media sosial seperti WhatsApp, Instagram, Discord, dan Tik-Tok. Melalui media-media sosial tersebut, para anggota komunitas selalu terhubung dan rencana-rencana untuk menghadiri suatu konvensi atau suatu projek direncanakan. Mengingat anggota komunitas mayoritas berasal dari Bekasi, mereka sering mengadakan kegiatan lokal.
Aktivitas-aktivitas tersebut dapat diadakan baik secara tatap muka maupun daring, serta dalam skala besar maupun kecil. Kegiatan-kegiatan tersebut mencakup berbagai hal, tetapi yang paling penting adalah kehadiran dalam acara-acara Jejepangan yang biasanya diadakan setiap hari Sabtu dan Minggu di kota Bekasi dan terkadang di Jakarta. Dalam acara-acara tersebut, mereka memperkuat ikatan sosial dan menampilkan kostum cosplay mereka.Untuk karakter yang mereka cosplaykan itu sendiri, berdasarkan hasil wawancara yang telah kami dapatkan, para cosplayer kerap kali mendasarkan keputusan mereka pada beberapa hal, yaitu: Kesukaan mereka terhadap suatu karakter; Karakter yang mudah untuk di cosplay (karakter dengan desain yang sederhana); Karakter dengan penampilan maupun vibe yang cocok dengan diri sendiri; Mengikuti projek cosplay yang ditentukan kelompok komunitas cosplayer yang diikuti cosplayer tersebut.
Selain faktor-faktor yang telah disebutkan sebelumnya, ada juga beberapa pertimbangan yang harus dipikirkan sebelum memilih karakter untuk di-cosplay, seperti ketersediaan kostum yang akan dipakai, relevansi karakter dengan kepribadian pribadi, kompleksitas desain kostum karakter, dan ketahanan dari bahan kostum. Setelah mempertimbangkan hal-hal tersebut, para cosplayer dapat memilih karakter yang ingin mereka perankan.Saat menghadiri sebuah konvensi atau event jejepangan, komunitas “Bekasian” akan bertemu di lokasi dan akan mengadakan foto bersama dengan para anggota komunitas lainnya, baik untuk anggota yang menggunakan cosplay maupun tidak. Dengan adanya foto bersama ini, para cosplayer merasa tergabung dalam suatu kelompok.Selain pengambilan foto bersama, ada juga yang dikenal sebagai Proyek Cosplay. Proyek ini merupakan sebuah inisiatif yang dilakukan oleh suatu komunitas di mana mereka memilih suatu media seperti anime atau game tertentu, kemudian men-cosplay karakter-karakter dari media tersebut. Biasanya, mereka menetapkan karakter-karakter yang akan di-cosplay, dan anggota grup akan "mengklaim" karakter yang ingin mereka perankan, menjadikannya sebagai grup cosplay. Melalui proyek ini, para anggota tentu akan merasa bersemangat. Men-cosplay karakter-karakter dari sebuah media sebagai grup merupakan pengalaman yang menyenangkan. Proyek ini juga memungkinkan mereka untuk lebih mendalami karakter dengan berinteraksi satu sama lain seolah-olah mereka benar-benar menjadi karakter dari media tersebut yang hidup di dunia nyata.
Sebuah konvensi atau event, walaupun sering diadakan, tapi tidak semua anggota komunitas bisa selalu menghadiri konvensi atau event tersebut. Dalam suatu komunitas besar seperti “Bekasians”, terdapat grup-grup kecil yang terdiri atas orang-orang yang lebih dekat dengan beberapa orang dalam komunitas tersebut. Tidak jarang, Seringkali, sebuah kelompok kecil akan hadir dalam suatu konvensi atau acara dan menghabiskan lebih banyak waktu bersama-sama daripada anggota komunitas lainnya. Jika salah satu anggota tidak bisa hadir, beberapa anggota lainnya mungkin akan membawa foto dari anggota yang absen dan berfoto bersama foto tersebut di acara tersebut sebagai pengganti kehadiran langsung. Ini mencerminkan kuatnya hubungan antara para anggota yang tetap membawa kehadiran teman mereka ke dalam acara bahkan dalam bentuk foto.
PERSEPSI ANTAR PUBLIK DAN COSPLAYER
Cosplay ini sendiri memberikan kesan yang berbeda-beda pada tiap orangnya. Bagi anggota komunitas “Bekasians”, cosplay mereka anggap sebagai sebuah cara untuk mengekspresikan diri mereka dan menjadi pemersatu di komunitas mereka. Namun, bagi public, cosplay memiliki konotasi yang beragam. Dalam dunia fandom Indonesia, terdapat sebuah istilah yang sering digunakan oleh orang-orang yang berada dalam sebuah fandom, yaitu ‘lokal’. Lokal di sini dideskripsikan sebagai orang-orang di luar komunitas mereka yang tidak terekspos oleh budaya yang mereka sukai dan tidak mengerti appeal dari budaya tersebut. Contohnya adalah seseorang yang tidak menyukai anime dan memandang bahwa cosplay itu tidak bermanfaat.Bagi para ‘lokal’, cosplay sering dilihat sebagai aneh. Tidak hanya itu, ada juga yang beranggapan bahwa cosplay itu kegiatan yang membuang-buang uang karena kostum cosplay memiliki harga yang tidak murah. Tidak jarang juga, kelompok yang lebih agresif mengatakan bahwa fisik orang Indonesia tidak cocok untuk melakukan cosplay karena kulit orang Indonesia yang kebanyakan berwarna sawo matang. Banyak konotasi negatif yang dimiliki oleh para ‘lokal’ sehingga beberapa anggota komunitas ‘Bekasians’ tidak menyukai mereka. Meskipun ada beberapa anggota yang tidak menyukai ‘lokal’, ada juga anggota yang tidak terlalu memperdulikan pandangan orang lain dan fokus pada hobi mereka.Sementara itu, persepsi publik terhadap cosplayer seringkali bervariasi tergantung pada budaya, masyarakat dan lingkungan sekitar publik itu sendiri. Beberapa orang menghargai kreativitas dan dedikasi cosplayer terhadap hobi mereka. Orang-orang ini biasanya melihat cosplayer sebagai orang yang berdedikasi terhadap hobi mereka dan menghargai mereka karena rela mengeluarkan uang yang cukup banyak untuk hobi mereka. Sementara yang lain adalah orang-orang yang disebut ‘lokal’. Mereka ini adalah orang-orang yang menganggap cosplay sebagai sesuatu yang aneh dan buang-buang uang.Setelah pandemi COVID-19, persepsi publik terhadap cosplayer mungkin juga mengalami sedikit perubahan. Dengan adanya pembatalan dan penundaan acara-acara besar serta penurunan interaksi sosial, masyarakat sekarang menjadi lebih terbuka dengan kegiatan-kegiatan jejepangan. Hal ini juga dipengaruhi oleh popularitas anime di berbagai platform media sosial yang meningkat semenjak pandemi COVID-19. Bahkan salah satu anggota Bekasians mengaku, ia adalah seseorang yang awalnya tidak terlalu menyukai anime dan cosplay. Namun, karena ada banyak waktu luang di dalam rumah, ia perlahan-lahan ikut menonton anime karena anime menjadi sangat ‘tren’. Akhirnya persepsinya berubah dan sekarang ia justru menjadi cosplayer.
COSPLAY SEMPURNA
Menurut Walter Benjamin (1969), Aura merupakan efek dari suatu karya seni yang hadir secara unik dalam ruang dan waktu. Hal ini terkait dengan authenticity. Dengan adanya reproduksi mekanis, itu mengubah cara kita memandang keaslian sebuah karya seni. Di era sekarang ini, keaslian bukan lagi tentang asal-usul fisik atau materi dari suatu objek, tetapi juga juga tentang konteks, fungsi dan dampak budaya dari reproduksi tersebut.Jika melihat teori ini dalam konteks cosplay, "keaslian" bisa diinterpretasikan sebagai seberapa baik seorang cosplayer mampu mengekspresikan dan menghidupkan karakter yang mereka cosplaykan. Cosplay yang sempurna akan mencakup aspek keaslian, dimana cosplayer mampu menangkap esensi karakter yang mereka perankan dan menghadirkannya dengan cara yang autentik, menghormati sifat unik dan esensial dari karakter tersebut.
Meski cosplay merupakan bentuk dari interpretasi ulang dari karakter-karakter yang ada dalam media-media populer. Cosplay akan dianggap sempurna jika cosplayer mampu membawa ‘aura’ dari karakter tersebut. Aura ini bisa didapatkan melalui bagaimana si cosplayer menampilkan ulang dari karakter tersebut dan semirip apa mereka dengan karakter yang mereka cosplaykan, baik dari segi kostum dan gerak-gerik mereka saat cosplay.Pandangan komunitas cosplayer Bekasians terhadap cosplay yang sempurna juga sejalan dengan konsep aura dan keaslian dari Walter Benjamin. Saat ini, karena cosplay semakin populer, muncul banyak individu yang tidak sepenuhnya memahami esensi cosplay. Banyak pemula dalam dunia cosplay yang hanya memakai wig atau kostum tanpa lengkap menyerupai karakter yang mereka cosplaykan. Salah satu cosplayer yang kami wawancara juga mengungkapkan penyesalannya tentang kurangnya pengetahuan orang-orang yang baru ber-cosplay tentang asal-usul karakter yang mereka perankan, seperti nama karakter atau judul anime dari karakter yang mereka cosplaykan. Menurut mereka, esensi sejati dari cosplay mulai pudar, karena cosplay seharusnya dilakukan karena kecintaan mereka terhadap suatu media tertentu, bukan sekadar mengikuti tren atau ikut-ikutan.
COSPLAYERS' PROFILE
Mine
Sei
Fauzan
Referensi
An overview of cosplay: Exploring the subculture. (2015, August 28). The Artifice. https://the-artifice.com/cosplay-overview/Benjamin, Walter. (1969) “The Work of Art in the Age of Mechanical Reproduction”, dalam: Benjamin, Walter, Illuminations, New York: Schocken Books.Hall, Stuart. (1997). The Work of Representation. Representation: Cultural Representations and Signifying Practices, SAGE Publications LtdIda, R. (2019). Pendahuluan : Budaya Populer Indonesia - Diskursus Global/Lokal dalam Budaya Populer Indonesia. In R. Ida, & R. Ida (Ed.), Budaya Populer Indonesia - Diskursus Global/Lokal dalam Budaya Populer Indonesia (p. 2). Airlangga University Press.